Pagi ini aku terlibat percakapan dengan salah seorang teman kantorku. Kami membicarakan masalah keseimbangan hati dan kognisi. Sebagai perempuan, temanku sering kali terjebak " membuat keputusan dengan hati"!. Itu bukan sesuatu yang aneh, jika itu dilakukan oleh seorang wanita, apalagi ketika dia terlibat masalah cinta. Dan banyak orang yang berpendapat, bahwa kata hati tak pernah salah!!
Sebenarnya, aku tidak begitu "ngeh" dengan pendapat itu. Karena aku pernah terjebak oleh kata hatiku sendiri, dan rasa yang ditinggalkannya sungguh tidak enak. Dari pengalaman itulah aku kemudian belajar membuat keputusan dengan cara yang lebih "aman", baik bagi hatiku maupun otakku.
Sejauh ini, antara hati dan kognisi, jarang bisa berjalan beriringan. Contohnya, ketika hati menginginkan sesuatu, seperti kita menginginkan es krim disaat kita demam, biasanya hati akan dengan mudah menemukan alasan untuk membuat es krim itu bisa kita nikmati dalam keadaan demam. Contohnya, "ah nggak masalah lah, secara udah demam juga, jadi sekalian aja!". Ini brarti es krim halal dimakan ketika kita demam. Padahal, kalau kita menggunakan otak lebih dahulu, persepsi yang akan keluar adalah sebagai berikut : dalam keadaan demam, kalau makan es krim, penyakitnya akan bertambah parah, dan akan lebih lama sembuh. Artinya, kalau ingin makan es krim lagi, harus menunggu sampai benar - benar sembuh!! Dan itu akan makan waktu, lebih lama dari pada demam, tanpa makan es krim. Kalau kita larikan kembali pada keinginan hati, artinya kerinduan pada es krim akan lebih lama bisa terobati akibat keinginan hati disaat yang slaah tersebut.
Jadilah, dengan analogi sederhana itu, aku membalik cara membuat keputusanku. Aku, akhirnya, meletakkan semua alasan logis didepan, dan memberi sentuhan akhir dengan meletakkan unsur hati dibagian akhir dialogku, agar tidak terjebak dalam keputusan yang dingin dan kaku. Selama ini, cara ini cukup berhasil, dan aku bisa menghasilkan sesuatu yang kusebut "logika berperasaan". :P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar