Pada tanggal 27 Januari 2008 kemarin,..bangsa ini separuh berduka,..separuh tak rela. Pada hari itu, H. Soeharto telah berpulang ke haribaan Illahi dengan meninggalkan berjuta tanda tanya dan ketidak puasan dihati banyak rakyat Indonesia. Sudah sejak lama Soeharto sakit, terutama setiap menghadapi sidang tuntutan kasus-kasusnya dimasa lalu. Banyak berpikir kalau dia sengaja berpura-pura sakit agar tidak disidang, dan tidak mendapat hukuman atas kesalahan masa lalunya. Padahal, mungkin saja hal itu bukan bohongan. Karena pada waktu kejatuhannya dia sudah sangat tua dan rapuh, yang menyebabkan dia rentan terhadap tekanan dalam bentuk apapun. Termasuk rentan terhadap tekanan kesalahan masa lalunya.
Namun sebagai seorang manusia, yang berharap bisa menjadi lebih baik dari seorang Soeharto, menjadi lucu ketika mengingat kondisi itu. Seolah niat keadilan kita, untuk menuntut kejahatan Soeharto di masa lalu, menjadi penyebab Soeharto bulak-balik masuk rumah sakit. Seolah kita menakuti-nakuti beliau dengan sidang yang memang seharusnya dia jalani. Dan kita merasa menjadi orang jahat, yang menyiksa orang yang lemah. Dan sepertinya hal itu berhasil menimbulkan sedikit rasa bersalah dihati para petinggi kita. Hal ini membuat mereka berkesimpulan bahwa, diiusianya yang senja dan sakit-sakitan, mungkin kita harus bersikap sedikit lunak dan memaafkan segala kesalah beliau. Kita tidak boleh menjadi bangsa pendendam, harus bisa memaafkan kesalahan orang yang bagaimanapun telah berhasil memimpin bangsa ini selama 32 tahun, walau kita berakhir sebagai bangsa yang kurang berhasil. Suatu niat yang sungguh mulia, dan patut dihargai.
Ketika kita menghitung harga maaf itu, sebagai orang yang akan memberi maaf itu, sewajarnya saja kita berpikir jumlah maaf yang kita harus berikan ( hukum ikhlas biasanya terkesampingkan pada kasus kenegaraan seperti ini :P ). Dan wajar saja kalau kita sampai pada perhitungan akhir bahwa jumlah maaf dalam kurun waktu 8 tahun ini tidak cukup untuk memaafkan kesalahan yang telah terjadi selama 32 tahun, karena waktu untuk memaafkannya tidak seimbang. Dan pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan, bahwa masih ada yang tidak puas dengan keadaan ini, dan kita juga harus memaklumi hal tersebut.
Sekarang ketika Soeharto sudah tidak ada, selain mewariskan hartanya, dia juga mewariskan jejak hitam, bukan hanya pada anak cucunya, tapi juga pada kroninya. Bukan hal yang aneh lagi, kalau kondisi Pak Harto yang sudah tua dan sakit-sakitan itu kemudian menjadi inspirasi bagi para kroninya, untuk berpura-pura sakit juga ketika akan disidang. Walau Pak Harto tidak memerintahkan hal itu, tapi sebagai kader yang setia, mereka mencontoh plek-plek kepada pemimpinnya. Bahkan sampai terlihat konyol, karena mereka bertingkah seperti orang yang sudah sangat lemah diusia yang jauh lebih muda daripada Pak Harto yang memang sudah uzur itu.
Dan sekarang ketika, Sang Patron sudah tidak ada, mungkin kita dapat menyaksikan tontonan baru. Bukan lagi, tontonan adegan mengimitasi tindakan Pak Harto, tapi mungkin lebih seru dan lebih ribut lagi. Karena sewajarnya lah anak ayam akan ribut ketika induk mereka meninggalkannya,...
Selamat Jalan Bapak,..Jasa dan dosamu akan tetap kami kenang,....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar